JAKARTA - Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) berencana melakukan demonstrasi langsung ke Presiden Joko Widodo (Jokowi), jika permintaannya terkait UU Cipta kerja dan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) pada sektor perkebunan dan kehutanan tak ditanggapi.
Para petani sawit tersebut secara khusus menolak kebijakan terkait lahan perkebunan sawit rakyat yang dinilai malah memberatkan.
Ketua Umum Apkasindo Gulat Manurung mengatakan, penolakan telah diberikan kepada Jokowi dan para menteri terkait pada 21 Desember 2020. Namun hingga saat ini memang belum ada respons dari pemerintah terkait penolakan itu.
"Kami sudah melakukan tahapan surat-menyurat kepada Pak Presiden, kalau ini tidak ditanggapi maka kami akan melobi ke DPR. Tapi kalau enggak bisa juga, dan RPP akhirnya disahkan jadi PP, apa boleh buat, sudah setuju 22 provinsi turun ke Jakarta unjuk rasa kepada pemerintah," ujarnya dalam konferensi pers virtual, Rabu (23/12/2020).
Ia menjelaskan, ada sejumlah penolakan dalam RPP sektor perkebunan dan kehutanan, yang merupakan aturan turunan dalam UU Cipta Kerja. Diantaranya terkait penggunaan lahan di kawasan hutan.
Di mana luasan perkebunan sawit rakyat yang terindikasi dalam kawasan hutan disebutkan sebanyak 3,2 juta hektar. Padahal, mayoritas petani sawit masih belum mengetahui perhitungan yang menentukan luas perkebunan yang masuk kawasan hutan.
Di sisi lain, perkebunan sawit rakyat yang terindikasi dalam kawasan hutan dengan berusia kebun 5-37 tahun sudah dilengkapi legalitas surat jual beli yang dibuat di hadapan kepala desa, camat, ada bukti pembayaran PBB, dan ada yang sudah memiliki Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) atau bahkan Sertifikat Hak Milik (SHM).
"Pekebun sawit rakyat tidak memahami regulasi-regulasi terkait kehutanan dan tidak punya pengetahuan serta akses tentang status lahan yang mereka tanami dan melakukan pengecekan koordinat memakai alat GPS, berbeda dengan korporasi," jelas Gulat.
Sementara pemerintah juga ingin perkebunan sawit rakyat mengikuti program peremajaan dan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Namun hal itu tidak bisa dilakukan jika perkebunan terindikasi dalam kawasan hutan.
Selain itu, dirasa sulit karena pekebun sawit rakyat tidak mempunyai kemampuan dalam melakukan pengurusan legalitas lahan ke kementerian dan lembaga terkait secara parsial, seperti yang dilakukan perusahaan.
Penolakan lainnya adalah kebijakan mengenai sanksi administrasi dalam RPP yang dinilai sangat merugikan petani. Pertama, sanksi administrati hanya dibuat untuk menyelesaikan persoalan klaim perkebunan sawit rakyat dalam kawasan hutan yang sudah melalui proses penetapan.
"Jadi jika proses tahapan ini belum tuntas maka kawasan hutan belum sah secara hukum. Padahal banyak lahan petani sawit yang di klaim berada dalam kawasan hutan yang belum mencapai tahap penetapan," kata dia.
Kedua, RPP tersebut mengunci definisi perizinan berusaha menjadi terbatas pada izin lokasi dan izin usaha di bidang perkebunan. Padahal petani sawit tidak memiliki izin-izin tersebut karena memang tidak diwajibkan oleh undang-undang sebelumnya ataupun aturan lainnya.
Ketiga, sanksi administrasi juga dinilai menutup peluang bagi para pekebun yang lahannya 6-25 hektar untuk memperoleh pelepasan kawasan hutan. Padahal ketentuan hukum di bidang perkebunan telah memberikan hak bagi petani sawit untuk mengelola lahannya maksimal 25 hektar.
Keempat, petani disebut harus tinggal di dalam lahan perkebunan minimum lima tahun berturut-turut, namun hal ini dinilai tak masuk akal. Lantaran petani terbagi tiga tipologi, petani sekaligus pekerja, petani hanya sebagai pemilik, dan petani sebagai mitra.
Kelima, penghitungan pengenaan denda dari sanksi administrasi terkait penggunaan kawasan hutan dinilai tak akan sanggup dipenuhi petani, malah hanya semakin memberatkan petani.
Keenam, pemerintah yang membuka ruang untuk tetap melanjutkan penyidikan atas dugaan kegiatan perkebunan dalam kawasan hutan yang dilaksanakan sebelum terbitnya UU Cipta Kerja dinilai malah bertentangan dengan beleid itu sendiri.
Terkait penolakan tersebut, Gulat mengatakan, ada beberapa usulan Apkasindo kepada pemerintah. Di antaranya, mengeluarkan seluruh areal kebun sawit (eksisting) dari kawasan hutan.
Lalu memperluas defenisi perizinan berusaha, termasuk diantaranya STDB, Hak-Hak Adat, Tanda Bukti Jual Beli Lahan Pekebun dan tanda bukti hak lainnya yang diakui masyarakat hukum adat setempat yang terbit sebelum berlakunya UU Cipta Kerja.
Memasukkan hak dan kepentingan rakyat yang terindikasi dalam kawasan hutan kedalam penyusunan RPP dengan membuat pasal-pasal khusus tentang penyelesaian kepemilikan lahan pekebun sawit. Lalu melakukan fasilitasi dan mempermudah proses penyelesaian klaim kawasan hutan.
Serta denda administrasi yang dibebankan kepada petani sawit yang lahannya berada dalam kawasan hutan yang telah melalui proses penetapan maksimal sebesar Rp 1 juta per hektar.
[Source: Kompas]